Thursday, February 28, 2019

Kapan Seseorang Bisa Divonis Sebagai Mubtadi’ (➍)


🚇KAPAN SESEORANG BISA DIVONIS SEBAGAI MUBTADI’ (➍)

[ Sebuah Catatan Bagi Mereka Yang Sering Mengaburkan Penyebutan Mubtadi' (Ahli Bid'ah) Terhadap Seseorang Atau Terhadap Suatu Kelompok Kerena Ingin Membela Mereka Atau Menolak Tahdzir Ulama Atas Mereka Atau Karena Suatu Tujuan Yang Tertentu ]

(i) ❱ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

[ Pertanyaan ]

Siapakah Mubtadi' itu?

[ Jawab ]

{ كل من تعبد لله بعقيدة أو قول أو فعل لم يكن من شريعة الله، فهو مبتدع. فالجهمية يتعبدون بعقيدتهم، ويعتقدون أنهم منزهون لله، والمعتزلة كذلك. والأشاعرة يتعبدون بما هم عليه من عقيدة باطلة. والذين أحدثوا أذكاراً معينة يتعبدون لله بذلك، ويعتقدون أنهم مأجورون على هذا . والذين أحدثوا أفعالاً يتعبدون لله بها ويعتقدون أنهم مأجورون على هذا. كل هذه الأصناف الثلاثة الذين ابتدعوا في العقيدة أو في الأقوال أو في الأفعال، كل بدعة من بدعهم، فهي ضلالة. }

[ + ] Setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan suatu aqidah atau ucapan atau perbuatan yang bukan dari syariat Allah, maka dia itu Mubtadi'.

((🔥)) Jadi Jahmiyah mereka beribadah dengan aqidahnya dan mereka berkeyakinan bahwasanya mereka sedang menyucikan Allah, dan Mu'tazilah seperti itu juga. Dan Asya'irah mereka beribadah dengan apa yang mereka berada di atasnya berupa aqidah bathil.

((🔥)) Dan orang-orang yang mengada-adakan dzikir-dzikir tertentu yang mereka beribadah kepada Allah dengannya, dan berkeyakinan bahwasanya mereka mendapat pahala akan hal ini.

((🔥)) Dan orang-orang yang mengada-ngadakan perbuatan yang mereka beribadah kepada Allah dengannya dan berkeyakinan bahwasanya mereka mendapat pahala akan hal ini.

Masing-masing pengelompokan yang tiga ini yang telah mereka buat-buat dalam hal aqidah atau ucapan-ucapan atau amalan-amalan perbuatan, semuanya itu adalah bid'ah dari bid'ah-bid'ah mereka, dan itu merupakan kesesatan.

📚[Syarhul Aqidah Wasitiyah -Asy-Syarhul Awwal- Syarith 29]

* * *

🚇APAKAH DISYARATKAN PENEGAKAN HUJJAH UNTUK PENYEBUTAN SEORANG PELAKU BID'AH SEBAGAI MUBTADI'?

(ii) ❱ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

[ Pertanyaan ]

Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepada Anda wahai Syaikh, ada seorang lelaki terjatuh dalam berbagai kebid'ahan dalam buku-buku dan ucapan-ucapannya. Kemudian apakah dipersyaratkan untuk menjuluki orang ini atau selainnya sebagai Mubtadi' untuk ditegakkan (dahulu) Hujjah atasnya?

[ Jawaban ]

[ + ] Demi Allah -semoga Allah memberkahimu- jikalau orang ini ada (masih hidup)
sedangkan orang-orang mengambil (ilmu) darinya dan dia seorang da'i maka harus disebutkan namanya.
Jika bukan da'i maka tidak dibutuhkan (penyebutan namanya) hanya saja sebutkanlah perkataan yang ia tersesat di dalamnya dan jelaskan bahwa itu adalah kesesatan.
(•) Sebagaimana aku katakan sesaat yang lalu bahwa (penyebutan namanya) secara global lebih baik daripada terperinci.

((⚙️)) Adapun jika ia masih ada -sebagaimana kamu sebut terdahulu-
dan engkau lihat orang-orang sering mengunjunginya
dan mengambil bid'ah-bid'ahnya
(•) maka di sini kita katakan: Ta'yiin (penyebutan namanya) secara terperinci (terbuka) adalah wajib.

📚[Silsilah Liqo'at Al-Bab Al-Maftuh > Liqo' Al-Bab Al-Maftuh, 69]

🚇هل يشترط لتسمية المبتدع مبتدعا إقامة الحجة عليه؟

[ السؤال ]

أحسن الله إليك يا شيخ، رجل وقع في بدع متنوعة في كتبه، وأقواله، فهل يشترط لتسمية هذا الرجل، أو غيره من الناس مبتدعاً أن تقام عليه الحجة؟

[ الجواب ]

والله -بارك الله فيك- إن كان هذا الرجل موجوداً، والناس يأخذون منه وهو داعية؛ فلا بد من ذكر اسمه، وإلا فلا حاجة إلى ذلك، وإنما اذكر القول الذي ضل فيه وبين أنه ضلال، وكما قلتُ قبل قليل: إن التعميم أحسن من التعيين، أما إذا كان موجوداً -كما أسلفتَ- وترى الناس يرتادونه، ويأخذون من بدعه، فهنا قد نقول: إن تعيينه متعين.

📚[سلسلة لقاءات الباب المفتوح > لقاء الباب المفتوح، 69]

* * *

(iii) Tambahan:

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mubtadi’ adalah seorang yang meyakini suatu perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Menurut asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Mubtadi’ terbagi menjadi dua:

[1] ※ Mubtadi’ yang kebid’ahannya sampai membuat pelakunya kafir keluar dari Islam.
Jika demikian, dalam keadaan apa pun, seseorang tidak boleh shalat di belakangnya meskipun orang-orang mengatakan bahwa dia muslim, karena bid’ahnya mukaffirah (sampai tingkatan kufur). Bagaimana mungkin shalat di belakang seorang yang diyakini bahwa dia adalah kafir, padahal orang kafir tidak sah shalatnya.

[2] ※ Mubtadi’ yang tidak sampai taraf kekafiran, meskipun bid’ahnya dipandang besar (berat).
Seseorang boleh shalat di belakangnya (menjadi makmum). Hal ini selama tidak mengandung mafsadah di kemudian hari. Misalnya, manusia atau dia yang bermakmum teperdaya oleh ahli bid’ah tersebut. Terkadang, manusia mengira bahwa dia (imam tersebut) bukan mubtadi’ ketika mereka melihat ada si Fulan dan si Fulan shalat di belakangnya. Demikian pula seseorang yang shalat di belakangnya bisa jadi tertipu dan menganggap mubtadi’ itu berada di atas kebenaran.

📚[Al-Fath 2/220, Syarh al- Bukhari Ibnu ‘Utsaimin 3/156]

Url: http://bit.ly/Fw400620 { Judul dari Admin }
📮••••|Edisi| t.me/ukhuwahsalaf / www.alfawaaid.net

// Sumber:
(i) Tg @SalafyKawunganten - Mift@h_Udin / Dari: https://t.me/radeal/1095
(ii) Arsip dari WA Forum Berbagi Faidah [FBF] - Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Yahya Almaidaniy (Solo) hafizhahullah / Link audio: http://bit.ly/2tJyLPr
(iii) Cuplikan dari AsySyariah•Com { https://goo.gl/1hx2aw }

0 komentar

Post a Comment