Tuesday, October 8, 2019

Sejarah Najd Dan Hubungannya Dengan Daulah ‘Utsmaniah ( 3 )


🚇SEJARAH NAJD DAN HUBUNGANNYA DENGAN DAULAH ‘UTSMANIAH ( 3 )

▶️ Kondisi Politik dan Keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah di Masa itu

Banyak pihak menangisi dan meratapi keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah. Namun sangat disayangkan, tangisan dan ratapan tersebut tidak disertai dengan sikap yang adil dan ilmiah untuk menjadikannya sebagai pelajaran dan upaya instrospeksi diri, mengapa dan apa sebab-sebab keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah.

Yang ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dakwah ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah. Padahal kalau mereka mau jujur dan mempelajari dengan seksama bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

((📜)) Disebutkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoral-nya yang berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam):

“Bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12H -yaitu sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/ dianggap tidak ada).

Banyak penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur. Hal itu ditandai dengan adanya penanda-tanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang, red.) dekat Sungai Danube pada tahun 1110H, bertepatan dengan 1699M[⁵] dengan Pemerintahan Rusia. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II.

Hal itu merupakan bukti resmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.

Akibat kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh. Barat menggelari penguasa Dinasti ‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit. Kemudian Barat sepakat untuk mulai membagi-bagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu. Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah ‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.

Secara kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keIslaman, dan terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara.[⁶] Akibat dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan.

Bahkan sebagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil.[⁷]

((📜)) Muhammad Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar:

“Di kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.

Keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya yang ingin melepaskan diri dari Daulah.” [Lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal. 47]

▾▾▾

Sehingga, pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka. Hingga kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa’ disebabkan revolusi perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya pada tahun 1080H. [Lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr]

Sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud Kondisi Aqidah dan Keagamaan Daulah ‘Utsmaniyyah Daulah ‘Utsmaniyyah ternyata;

✘- Adalah daulah yang banyak dipengaruhi aqidah tashawwuf, mendukung penuh gerakan Shufi dengan berbagai macam tarekat-tarekatnya, yang sangat bertentangan dengan Islam dan tauhid.

✘- Dalam pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah telah masuk berbagai macam bentuk adat, termasuk sebagian adat peribadatan Nashara, seperti cara kehidupan kependetaan yang dikenal dengan Ar-Rahbaniyyah, melantunkan dzikir-dzikir dengan lantunan nada diiringi tari-tarian, disertai pula teriakan-teriakan dan tepuk tangan. Berbagai macam bentuk peringatan maulid, dan berbagai macam aliran bid’ah yang lainnya.

✘- Bahkan telah masuk pula adat istiadat Hindu, Persia, dan Yunani dengan berbagai macam dakwah aqidah yang menyesatkan. Seperti aqidah Al-Hulul dan Al-Ittihad serta Wihdatul Wujud (aqidah yang meyakini bahwa Allah ada di mana-mana dan telah menyatu dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, atau sering dikenal di negeri Indonesia ini dengan manunggaling kawula gusti). Aqidah ini merupakan aqidah sesat dan menyesatkan yang dimotori tokoh-tokoh sesat tashawwuf semacam Al-Hallaj dan yang lainnya.

Pemerintahan Daulah ‘Utsmaniyyah beranggapan bahwa gerakan tashawwuf merupakan inti agama Islam. Sehingga para penguasanya benar-benar menghormati dan merendahkan dirinya di hadapan tokoh-tokoh tashawwuf serta berlebihan dalam mengagungkan mereka. Di negeri tersebut dan daerah-daerah kekuasaannya, dipenuhi dengan kubur-kubur yang diagungkan dan dikeramatkan dengan didirikan kubah-kubah di atasnya. Hal itu dilindungi secara resmi oleh Daulah ‘Utsmaniyyah, sehingga banyak umat yang berdatangan ke kubur-kubur dalam rangka mengagungkannya.

✘- Demikian juga menyem-belih qurban dan bernadzar untuk selain Allah telah tersebar luas dan merata di Daulah ‘Utsmaniyyah.

✘- Doa dan istighatsah kepada kubur merupakan suatu keadaan yang menyelimuti negeri tersebut.[⁸]

Gambaran dan kondisi Daulah ‘Utsmaniyyah yang bobrok dan bejat aqidahnya seperti di atas, telah ada jauh sebelum dilahirkannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Semua itu berakibat semakin lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah, tercerai berainya persatuan mereka, sehingga mereka benar-benar lemah di hadapan musuh-musuhnya. Hilang wibawa mereka sehingga dengan penuh kerendahan dan kehinaan mereka harus menandatangani perjanjian damai dengan negara-negara kafir, yang menunjuk-kan betapa lemahnya Daulah ‘Utsmaniyyah.

Ini semua merupakan bukti nyata bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah tidak menjunjung tinggi tauhid dan Sunnah Rasulullah [ﷺ]. Karena itu, Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada mereka.

Telah hilang dari mereka janji Allah dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” [Muhammad: 7] Mereka tercerai berai karena mereka telah meninggalkan prinsip dan Sunnah Rasulullah [ﷺ].

Maha Benar Allah yang telah berkata di dalam kitab-Nya:

“Dan inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangan kalian ikuti as-subul (bid’ah dan syahwat), karena (jalan-jalan itu) menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian, agar kalian bertakwa.” [Al-An’am: 153]

Dengan tercerai-berainya ini, karena meninggalkan tauhid dan Sunnah, yang kemudian diikuti ambisi masing-masing pihak dalam bentuk berbagai pemberontakan, akhirnya berujung pada hilangnya kekuatan dan kewibawaan mereka di hadapan musuh-musuh-Nya.

Hal ini seba-gaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian.” [Al Anfal: 46]

Dan benar pula Rasulullah [ﷺ] yang telah menyatakan:

“Dan dijadikan kehinaan dan keren-dahan bagi pihak-pihak yang menyelisihi perintahku.” [HR. Ahmad][⁹]

▶️ Jika boleh disimpulkan, bahwa keruntuhan Daulah ‘Utsmaniyyah disebab-kan dua faktor utama:

[ 1 ] — Faktor kelemahan politik dan keamanan Daulah ‘Utsmaniyyah yang ditandai dengan:

{a} Kekalahan dalam perang mengha-dapi kekuatan kafir Eropa sehingga terpaksa harus menandatangani perjanjian damai, sejak jauh hari sebelum lahirnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
{b} Banyaknya gerakan separatis di daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah.
{c} Keadaan parlemen dan kementerian negara yang telah banyak disusupi oleh kaki tangan asing dalam rangka meruntuhkan kekuatan negara dari dalam.

[ 2 ] — Faktor aqidah dan kehidupan keagamaan pemerintah Daulah ‘Utsmaniy-yah maupun rakyatnya yang telah banyak diwarnai kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta kemaksiatan.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut di atas, hilanglah kesempatan mereka untuk meraih janji Allah yang disebutkan dalam firman-Nya:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan menger-jakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempesekutukan sesuatu apapun dengan-Ku….” [An-Nur: 55]

Wallahu a’lam.

—(▴) Catatan: (▴)—
[⁵] - Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah lahir 1115H, 5 tahun setelah perjanjian damai tersebut ditandatangani. Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan bentuk persekongkolan untuk meruntuhkan Daulah ‘Utsmaniyah. Maka sangat tidak benar apa yang dituduhkan beberapa penulis dari kelompok Hizbut Tahrir dalam bukunya Kaifa Hudimatil Khilafah (edisi Indonesia: Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah).
[⁶] - Lihat kitab Fikrah Al-Qaumiyyah Al-’Arabiyyah ‘ala Dhau‘i Al-Islam, Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud, hal. 35-56; Intisyaru Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Kharija Al-Jazirah Al-‘Arabiyyah, M. Kamal Jam’ah, hal. 11-12.
[⁷] - Lihat kitab Hadhirul ‘Alam Al-Islamiy, Watsrub Al-Imriky dengan footnote dari Asy-Syaikh As-Salam, 1/259.
[⁸] - Lihat Al-Intisyar, hal. 11-14.
[⁹] - HR. Ahmad II/50, 92 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa` no. 1269.

Url: http://bit.ly/Fw410118
📮••••|Edisi| t.me/ukhuwahsalaf / www.alfawaaid.net

// Sumber: Manhajul-Anbiya•Net { http://bit.ly/2nWznlo } - Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Baabduh hafizhahullah

0 komentar

Post a Comment