Sunday, July 5, 2020

Apakah Sunnah Nabi Itu?


🚇APAKAH SUNNAH NABI ITU?

Sebuah pertanyaan mendasar yang diajukan saudara kita: Apakah sunnah Nabi itu? Kapankah seseorang dikatakan berpegang teguh dengan sunnah?

Berikut ini penjelasannya secara sederhana. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik dan pertolongan kepada kita.

Secara bahasa, sunnah itu adalah teladan atau jalan yang diikuti. Jadi, Sunnah Nabi itu sebenarnya adalah teladan dan contoh penerapan syariat dalam beragama Islam dari Nabi. Bisa berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan dari beliau. Sunnah Nabi adalah ajaran Nabi. Sunnah Nabi bisa berupa akidah (keyakinan), ucapan lisan, ataupun amal perbuatan.

Nabi [ﷺ] bersabda:

{ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ... }
“Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku …” [HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dari Irbaadh bin Sariyyah]

Kalau seseorang diperintah:

“Ikutilah sunnah Nabi, berpegangteguhlah dengan sunnah Nabi”,

Artinya:

(•) — Ikutilah ajaran dan teladan dari beliau, jangan beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan contoh yang beliau ajarkan.

(•) — Jangan mengada-adakan hal-hal baru dalam ibadah yang tidak pernah beliau contohkan.

Hal-hal baru dalam agama yang tidak pernah diajarkan Nabi dan justru menjadi tandingan bagi sunnah Nabi itu disebut bid’ah. Sehingga sunnah Nabi itu berkebalikan dengan bid’ah. Bid’ah adalah lawan dari sunnah.

Kalimat lanjutan dari hadits di atas, setelah Nabi memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau (juga sunnah para Khulafaur Rasyidin), masih di hadits yang sama, beliau memperingatkan dari bahaya kebid’ahan:

{ ...وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة }

“… dan berhati-hatilah (jauhilah) oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dari Irbaadh bin Sariyyah]

▶️ Sunnah Nabi itu ada yang hukumnya wajib dilakukan per individu.

▶️ Ada pula sunnah Nabi yang hukumnya sekedar anjuran:

(•) — Jika dilakukan (dalam rangka menjalankan anjuran syariat) berpahala, jika ditinggalkan tidak mendapat pahala, namun tidak berdosa. Anjuran itu disebut juga mustahab atau mandub.

(•) — Tapi, apapun bagian dari sunnah Nabi tidak boleh bagi kita menentangnya. Yakini sebagai bagian dari syariat. Tidak boleh dibenci.

Sebagai contoh:

Beribadah hanya kepada Allah, itu adalah sunnah Nabi. Mengimani seluruh rukun iman dan menjalankan rukun Islam, itu adalah sunnah Nabi. Melaksanakan shalat 5 waktu bagi kaum muslim baik laki maupun wanita yang tidak berhalangan itu adalah sunnah Nabi. Berbakti kepada kedua orangtua, itu adalah sunnah Nabi. Ini contoh sunnah Nabi yang hukumnya wajib per individu.

Contoh sunnah Nabi yang bersifat anjuran adalah:

shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah. Shalat sunnah seperti shalat tahajjud dan witir, shalat Dhuha, shalat sunnah rawatib. Puasa sunnah seperti puasa Senin dan Kamis, puasa sunnah Syawwal, puasa Asyura, puasa Arafah. Ini adalah sunnah Nabi yang mustahab.

Dianjurkan untuk dilaksanakan, karena akan semakin menambah pahala di sisi Allah. Namun bukan kewajiban.

(•) — Ketika kita mengetahui ada sunnah Nabi yang hukumnya wajib dan ada pula yang mustahab, berusahalah untuk mempelajari dan mengamalkan sunnah Nabi yang wajib, kemudian barulah menyempurnakan dengan yang mustahab.

(•) — Sedikit menerapkan ibadah yang mustahab namun sesuai ajaran Nabi, masih lebih baik dibandingkan banyak menerapkan ibadah yang mustahab namun di atas kebid’ahan.

Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:

{ الْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ }

“Sederhana dalam sunnah itu lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.” [HR. ad-Daarimiy, dishahihkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabiy, dan al-Albaniy]

Seorang muslim yang berakidah lurus, mentauhidkan Allah, beriman secara benar dalam seluruh rukun Iman, melaksanakan rukun Islam yang mampu dilaksanakan, namun tidak istimewa dalam ibadah-ibadah mustahab lainnya, masih lebih baik dibandingkan seorang yang banyak ibadahnya namun bergelimang dalam kebid’ahan.

▶️ Kebid’ahan itu ada yang sampai pada taraf kekafiran, ada pula yang tidak sampai pada taraf kekafiran.

(•) — Kebid’ahan yang sampai pada taraf kekafiran contohnya adalah Qodariyyah yang ekstrim yang menganggap Allah tidak mengetahui tentang sesuatu kecuali setelah kejadian. Sebelum kejadian, dia anggap Allah tidak tahu. Ini akidah kekafiran.

Disebut kebid’ahan karena baru muncul pada orang yang menisbatkan diri sebagai muslim setelah Nabi (juga Abu Bakr, dan Umar bin al-Khoththob) meninggal dunia.

Contoh kebid’ahan yang sampai pada taraf kafir yang lain adalah Jahmiyyah yang menolak seluruh Nama dan Sifat-Sifat Allah.

Ada juga kebid’ahan Syiah Rafidhah yang sampai pada taraf kekafiran di antaranya karena meyakini kurangnya al-Quran yang ada pada kaum muslimin saat ini, keyakinan ekstrim terhadap Imamnya sampai pada taraf Uluhiyyah, kebenciannya terhadap para Sahabat Nabi, dan masih banyak lagi yang lain.

(•) — Ada pula kebid’ahan yang tidak sampai pada taraf kekafiran.

Seperti mengada-adakan bacaan dzikir tertentu dengan pernyataan keutamaan dan pahala tertentu jika dibaca dengan tata cara tertentu, padahal tidak berdasarkan hadits Nabi [ﷺ] yang shahih.

▶️ Namun, bagaimanapun kebid’ahan adalah termasuk kemunkaran.

(•) — Seorang yang ingin berpegang teguh dengan sunnah, tidak bisa berpegang dengan sunnah secara sempurna jika tidak menjauhi kebid’ahan. Sebagaimana seseorang tidak bisa mentauhidkan Allah secara sempurna, jika ia tidak menjauhi berbagai kesyirikan.

(•) — Seseorang muslim harus membenci kebid’ahan dan berusaha mengingkarinya sesuai kemampuan.

Jika tidak mampu dengan tangan, hendaknya dengan lisan (nasihat dan penyampaian yang baik secara hikmah).

Kalau tidak bisa mengingkari dengan lisan, setidaknya dengan hati.

Membencinya dalam hati dan tidak ikut mendukung maupun terlibat. Itu adalah selemah-lemahnya iman. Jangan mendukung atau terlibat dalam kebid’ahan.

(•) — Namun, sebelum bertindak, ia harus berlandaskan ilmu, tahu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Tidak bertindak serampangan.

Hal ini berlaku untuk semua jenis kemunkaran (kekafiran; kesyirikan; kebid’ahan; kemaksiatan). Ingkari segala kemunkaran itu sesuai dengan kemampuan.

{ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ }

“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka hendaknya dengan hatinya (dengan membencinya, pent). Yang demikian itu (mengingkari dengan hati) adalah iman yang paling lemah.” [HR. Muslim dari Abu Said al-Khudriy]

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, pertolongan, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.

bit.ly/Fw411106
📮••••|Edisi| t.me/s/ukhuwahsalaf / www.alfawaaid.net

✍🏻__ Arsip WA al I'tishom - Faidah dari Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah

0 komentar

Post a Comment