Sunday, August 11, 2019

Benih-Benih al-Hizbiyyah


🚇BENIH-BENIH AL-HIZBIYYAH

Benih-benih al-hizbiyyah telah ada semenjak Rasulullah [ﷺ] masih hidup dan beliau sendiri tidak pernah membiarkannya. Demikian juga sahabat, begitu cepat meninggalkannya.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah (dalam Kitab al-Manaqib dari Shahih-nya, “Bab Maa Yunha min Da’watil Jahiliah”) dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

“(Suatu hari) kami berperang bersama Rasulullah [ﷺ]. Orang-orang Muhajirin pun berkumpul dan berdatangan kepada beliau hingga banyak. Di antara Muhajirin ada seorang laki-laki yang suka bergurau, lalu ia memukul pantat seorang dari Anshar. Spontan, orang Anshar ini pun marah dengan kemarahan yang meluap-luap, hingga akhirnya mereka saling berteriak (meminta bantuan). Orang Anshar berteriak, ‘Wahai Anshar!’ Dan orang Muhajirin berteriak, ‘Wahai Muhajirin!’ Maka Rasulullah [ﷺ] keluar (menemui mereka) seraya bersabda, ‘Ada apa dengan seruan jahiliah ini?!’ Kemudian beliau bersabda (lagi), ‘Apa masalah mereka?’ Maka diberitahukan kepada beliau tentang pemukulan pantat yang dilakukan oleh seorang Muhajirin terhadap seorang Anshar, maka beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah perbuatan itu, karena ia adalah perbuatan yang buruk!’.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Dua nama ini: ‘al-Muhajirin’ dan ‘al-Anshar’ merupakan dua nama yang syar’i, terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi nama mereka dengan keduanya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menamai kita dengan al-Muslimin sejak dahulu dan di dalam Al-Qur’an ini. Penyandaran seseorang kepada al-Muhajirin dan al-Anshar merupakan penyandaran yang baik lagi terpuji di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya [ﷺ]. Tidak sekadar sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai pengenal seperti penyandaran terhadap suku dan negeri, dan tidak pula termasuk penyandaran yang makruh atau haram seperti penyandaran terhadap sesuatu yang mengantarkan kepada bid’ah atau maksiat lainnya.

Meskipun demikian, tatkala masing-masing dari dua orang tersebut saling menyeru kelompoknya (walau dengan sebutan Muhajirin dan Anshar, ed.) untuk meminta bantuan, Nabi Muhammad [ﷺ] mengingkarinya dan menamakannya dengan ‘seruan jahiliah’.”

— 📚[Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim, hlm. 241]

▶️ Asas al-Hizbiyyah;

Bila kita mencermati jamaah atau firqah yang ada di tengah-tengah kaum muslimin, akan kita dapati masing-masing dari mereka saling berbangga satu sama lain.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an:

{ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ }

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum: 32]

Nah, bila demikian keadaannya,
pasti masing-masing dari mereka mempunyai prinsip dan pandangan yang terangkum dalam sebuah pedoman atau AD/ART, sebagai asas berpijak yang bersumber dari dan dibangun di atasnya aturan suatu kelompok.
Barangsiapa meyakininya atau dengan bahasa lain mengakui dan menjadikannya sebagai asas pergerakan dan amal, maka tergabunglah ia dalam kelompok tersebut dan menjadi bagian darinya, bahkan bisa menjadi anggota atau pemimpinnya. Jika tidak demikian maka tidaklah mungkin (menjadi bagian, anggota atau pemimpin bagi kelompok tersebut).
›› Jadi, pedoman atau AD/ART kelompoklah yang dijadikan sebagai asas kecintaan dan kebencian, persatuan dan perpisahan, serta pemuliaan dan penghinaan.

— 📚[Al-Ahzab as-Siyasiyyah fil Islam, hlm. 13]

Url: http://bit.ly/Fw401202
📮••••|Edisi| t.me/ukhuwahsalaf / www.alfawaaid.net

// Sumber: AsySyariah•Com { http://bit.ly/2KG3KnF } - Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc. hafizhahulah

0 komentar

Post a Comment