🚇SHALAT MUSAFIR - [Baqian 3]
(➓) Bagaimana jumlah rakaat seorang musafir yang shalat di belakang seorang mukim?
[ Jawab ]
Sama dengan jumlah rakaat Imam (disempurnakan).
عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَكُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ
Dari Musa bin Salamah beliau berkata: “Kami pernah bersama Ibnu Abbas di Makkah, kemudian aku berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami (musafir) jika shalat bersama kalian shalat 4 rakaat, namun jika kami kembali ke tempat (perkemahan) kami, kami shalat 2 rakaat.” Ibnu Abbas berkata: “Itu adalah Sunnah Abul Qosim (Nabi Muhammad) -ﷺ-.” [Riwayat Ahmad]
(➊➊) Apakah seorang musafir masbuq juga harus menyempurnakan jumlah rakaatnya sama dengan imam?
[ Jawab ]
Ya, jika ia masih sempat mendapati paling tidak 1 rakaat bersama Imam, maka nanti ia sempurnakan sejumlah total rakaat yang sama dengan Imam. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rakaat, ia tambahi kekurangan rakaat menjadi total rakaat yang dilakukan musafir.
Contoh, seorang masbuq mendapati Imam mukim shalat dzhuhur 4 rakaat. Jika ia bisa mendapati minimal 1 rakaat, maka nanti setelah Imam salam ia sempurnakan menjadi 4 rakaat. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rakaat, maka ia hanya menambah kekurangannya menjadi total 2 rakaat. Seseorang masih mendapati 1 rakaat jika ia masih sempat mandapati rukuk Imam. Sehingga, seseorang musafir yang mendapati Imam setelah ruku’ di rakaat terakhir, maka nanti ia sempurnakan shalatnya sebagaimana shalat musafir, tidak terhitung tergabung bersama jama’ah.
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barangsiapa yang mendapati 1 rakaat bersama Imam, maka ia telah mendapati shalat tersebut.” [HR Muslim dari Abu Hurairah]
(➊➋) Bagaimana jika seorang musafir menjadi Imam, sedangkan makmumnya adalah orang mukim?
[ Jawab ]
Makmum menambah kekurangan shalatnya.
Contoh, jika Imam yang musafir shalat Isya’ 2 rakaat, maka saat Imam salam, makmum mukim menambah 2 rakaat lagi shalatnya.
مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ وَإِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ زَمَانَ الْفَتْحِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ…إِلَّا الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا سَفْرٌ
“Tidaklah Rasulullah -ﷺ- melakukan safar kecuali shalat 2 rakaat 2 rakaat sampai kembali. Beliau tinggal di Makkah pada Fathu Makkah 18 malam shalat bersama manusia 2 rakaat – 2 rakaat … kecuali Maghrib,” kemudian (selesai salam) beliau berkata: “Wahai penduduk Makkah bangkitlah dan shalatlah 2 rakaat yang tersisa karena kami adalah musafir.” [HR Ahmad dari Imran bin Hushain]
(➊➌) Bagaimana cara mengganti shalat mukim di waktu safar atau sebaliknya?
[ Jawab ]
Dikerjakan sebagaimana keadaan saat yang terlewatkan. Jika lupa di waktu safar, maka mengganti di waktu mukim dengan qoshor. Sebaliknya jika lupa di waktu mukim, maka mengganti di waktu safar dengan disempurnakan jumlah rakaatnya. Contoh, seseorang yang telah merasa dengan yakin melakukan shalat Dzhuhur tanpa berwudlu’.
(✔️) Dalam hal ini:
▸ Jika shalat yang telah dilakukan dilakukan waktu mukim, kemudian dia safar, dan dalam safar ia teringat hal itu dan menggantinya di saat safar, maka di saat safar ia melakukan penggantian shalat tersebut 4 rakaat sebagaimana shalat mukim.
▸ Jika shalat yang telah dilakukan dilakukan waktu safar, kemudian dia kembali pulang sampai tempat tinggal, ketika itu ia teringat dan menggantinya di saat mukim, maka ia melakukan penggantian shalat tersebut 2 rakaat sebagaimana shalat musafir. [Disarikan dari penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’]
(➊➍) Bagaimana melaksanakan shalat-shalat sunnah di waktu safar?
[ Jawab ]
Di antara Sunnah Nabi adalah meninggalkan shalat- shalat sunnah rawatib (sebelum dan setelah shalat fardlu) di waktu safar. Shalat-shalat nafilah yang tetap dikerjakan Nabi pada saat mukim maupun safar adalah shalat malam dan shalat 2 rakaat sebelum Subuh.
Ibnu Umar menyatakan:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَمَا رَأَيْتُهُ يُسَبِّحُ وَلَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا لَأَتْمَمْتُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى } لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Aku menyertai Rasulullah -ﷺ- dalam safar, aku tidak pernah melihat beliau melakukan shalat sunnah. Kalau seandainya aku melakukan shalat sunnah, niscaya aku akan menyempurnakan shalatku (tidak safar).” [Riwayat Muslim]
(➊➎) Apakah yang dimaksud dengan shalat jamak?
[ Jawab ]
Menggabungkan 2 shalat dalam satu waktu karena keadaan tertentu. Misalnya karena sakit atau sedang dalam perjalanan safar.
(➊➏) Shalat apa saja yang diperbolehkan dijamak?
[ Jawab ]
Maghrib dengan Isya’ dan Dzhuhur dengan Ashar.
(➊➐) Manakah yang lebih baik, jamak ta’khir atau taqdim?
[ Jawab ]
Untuk shalat yang menggabungkan dua waktu, jika seseorang akan safar dan sudah masuk di waktu pertama, hendaknya ia melakukan jamak taqdim (mendahulukan), melakukan shalat pertama dan kedua di waktu pertama. Sebaliknya, jika ia safar sebelum waktu pertama dan tiba di tempat saat waktu kedua, maka ia melakukan shalat pertama dan kedua di waktu kedua (jamak ta’khir).
ⓘ Contoh, jika seseorang akan safar dan sudah masuk di waktu Dzhuhur, hendaknya ia melakukan shalat jamak Dzhuhur dan Ashar di waktu Dzhuhur kemudian berangkat safar. Sebaliknya, jika ia berangkat sebelum Dzhuhur, maka nantinya pada saat Ashar ia melakukan shalat Dzhuhur dan Ashar.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah -ﷺ- ketika berada pada pertempuran Tabuk, jika matahari tergelincir sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar. Jika beliau pergi sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan Dzhuhur hingga beliau turun di waktu Ashar. Dan pada waktu Maghrib juga seperti itu. Jika matahari terbenam sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Maghrib dan Isya. Jika beliau pergi sebelum matahari tenggelam, beliau mengakhirkan Maghrib hingga turun di waktu Isya’, kemudian menjamak keduanya. [HR Abu Dawud]
(➊➑) Apakah shalat jamak diharuskan bersambung tanpa terpisah waktu yang lama?
[ Jawab ]
Tidak harus, menurut pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena pada hakekatnya, shalat jamak adalah penggabungan satu waktu. Sehingga, tidak mengapa bagi seseorang melakukan shalat jamak yang masing-masing shalat terpisah jeda waktu yang cukup lama. Karena memang tidak ada nash shahih dan sharih (tegas) yang membatasi waktu jeda antar 2 shalat yang dijamak. Selama antara 2 shalat tersebut tidak diselingi oleh shalat yang lain, maka tidak mengapa.
Contoh, seorang yang telah shalat dzhuhur tanpa berniat jamak, kemudian selang satu jam kemudian pada saat ia masih berada di waktu dzhuhur, ia teringat harus melakukan safar, dan ia melihat akan kesulitan dan memberatkan jika tidak dijamak, maka ia boleh melakukan shalat ashar di waktu dzhuhur tersebut (sebagai bentuk jamak) selama tadi selepas melakukan shalat dzhuhur ia tidak melakukan shalat-shalat yang lain (misal: shalat sunnah setelah dzhuhur).
(➊➒) Apakah shalat jama' diharuskan berurutan?
[ Jawab ]
Ya, shalat Jama' harus berurutan. Maghrib dulu kemudian Isya’, demikian juga Dzhuhur dulu kemudian Ashar. Tidak boleh Isya’ dulu kemudian Maghrib atau Ashar dulu kemudian Dzhuhur. Jika seseorang sebelumnya berniat melakukan jama' ta’khir maghrib dan Isya’ di waktu Isya’ ternyata ia mendapati jamaah shalat Isya’ kemudian bergabung melakukan shalat Isya’ padahal ia belum shalat maghrib, maka nantinya ia harus melakukan shalat Maghrib dan Isya’ lagi. Shalatnya bersama jamaah terhitung shalat sunnah, bukan shalat yang menggugurkan kewajiban. [Penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’]
(➋ⓞ) Apakah diperbolehkan shalat jama' pada waktu safar di saat lebih banyak berdiam diri di suatu tempat/ tidak terus menerus dalam perjalanan?
[ Jawab ]
Boleh, namun yang lebih utama tidak dijama'. Dikatakan boleh, karena Nabi menjama' shalat pada peperangan Tabuk pada saat beliau lebih banyak berdiam diri tidak selalu melakukan perpindahan tempat sebagaimana riwayat Ahmad.
(➋➊) Bolehkah menjama' shalat Jum'at dengan shalat Ashar?
[ Jawab ]
Shalat Jum'at tidak sama dengan shalat Dzhuhur, karena itu ia tidak bisa dijama' dengan shalat Ashar. Nash-nash hadits yang ada adalah jama' antara Dzhuhur dengan Ashar, bukan Jum'at dengan Ashar. Jika seseorang dalam perjalanan pada waktu Jum'at hendak menjama' shalat, maka hendaknya ia melakukan shalat dzhuhur -bukan Jum'at- yang dijama' dengan shalat Ashar. Namun, jika ia memilih shalat Dzhuhur bukan shalat Jum'at, ia telah melewatkan keutamaan yang besar, karena shalat Jum'at lebih utama dibandingkan shalat Dzhuhur. [Asy-Syarhul Mumti’ syarh Zaadil Mustaqni’ karya Ibn Utsaimin]
(➋➋) Apakah jama' ta’khir mempersyaratkan niat sebelum berakhirnya waktu shalat yang pertama?
[ Jawab ]
Ya, menurut pendapat Syaikh al-Utsaimin.
Contoh, seseorang yang akan menjama' ta’khir pada waktu Ashar, ia sudah harus berniat sebelum berakhirnya waktu Dzhuhur. Seseorang yang akan menjama' ta’khir pada waktu Isya’ harus sudah berniat sebelum waktu Maghrib berakhir. Karena jika tidak demikian, ia melewatkan suatu waktu shalat tanpa berniat apapun untuk melakukan shalat.
(➋➌) Apakah seorang yang sakit boleh menjama' shalat? Apakah ia juga boleh mengqashar shalat?
[ Jawab ]
Seorang yang sakit boleh menjama', namun tidak boleh mengqashar. Karena qashar hanya berlaku bagi musafir.
Selesai, Alhamdulillah.
📚[Dikutip dari Buku “Fiqh Bersuci dan Shalat Sesuai Tuntunan Nabi” - Penulis: Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah]
📮••••|Edisi| @ukhuwahsalaf / www.alfawaaid.net
₪ Disebarkan melalui Channel Telegram @Sifat_Sholat_Nabi
➥ #Fiqh #Ibadah #Shalat #jamak #jama_ #qasar #qashar
0 komentar
Post a Comment